Minggu, 01 Mei 2011

Sad Dharma Sebagai Metode Pembinaan Umat

Metode pembinaan umat dan metode pendididkan agama adalah suatu metode atau cara yang ditempuh untuk menanamkan nilai-nilai agama hindu ke dalam lubuk hati sanubari umat, sehingga nilai agama benar-benar merupakan bagian yang integral dalam diri pribadi setiap umat Hindu.
Apabila agama telah menjadi bagian yang integral dalam pribadi setiap umat Hindu, maka agama akan kelihatan dalam segala tingkah laku umat Hindu baik secara individu maupun secara bersama-sama. Tingkah laku yang selalu mencerminkan nilai-nilai luhur agama akan dapat mewujudkan tujuan hidup mencapai kebahagiaan hidup jasmani dan rohani.
Memahami agama dimulai dengan adanya keyakinan. Dengan adanya keyakinan tentang adanya Ida Sang Hyang Widhi maka kita dapat membuktikan kebenaran agama. Keyakinan ini diperoleh dengan cara mempelajari ajaran agama, menyelami isinya dan diamalkan dalam bertindak, berbicara, ataupun berpikir. Dalam kitab Sarasamuccaya mengatakan bahwa agama baru berguna bila dipelajari dan diamalkan, maka kidung tantri mengilustrasikan sebagai berikut :
Kadi angganing padyut tinukuping dyun, tan kawedar juga padangnya
Terjemahan:
Bagaikan pelita yang ditutup dengan tempayan, tak akan memancarlah sinarnya sehingga tak dapat menunjukkan terangnya .(Tim penyusun, 1999 : 7)
Tentang metode pedidikan agama dam metode pembinaan umat Hindu kiranya dapat mempergunakan metode yang telah ditetapkan dalam buku pedoman Pembinaan Umat Hindu yang telah dapat rekomendasi atau pengesahan pada Pesamuhan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia yang berlangsung pada tanggan 4-7 Februari 1988. Metode tersebut dikenal sebagai metode Sad Dharma. Sad dharma antara lain :

Dharma wacana
Dharma Wacana adalah metode penerangan Agama Hindu yang disampaikan pada setiap kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan penerangan semacam ini dimasa lalu disebut Upanisada. Terminologi Upanisada atau upanisad mengandung arti dan sifatnya yang "Rahasyapadesa" dan merupakan bagian dari kitab Sruthi. Pada masa lalu ajaran upanisad sering dihubungkan dengan "Pawisik" yakni ajaran rahasia yang diberikan oleh seorang guru kerohanian kepada siswa atau muridnya dalam jumlah yang sangat terbatas.
Pendharma wacana disebut Dharma pracaraka. Dharma pracaraka memiliki tugas meyebarkan ajaran agama yang terdapat dalam kitab suci weda. Di dalam kitab suci disebutkan bahwa persembahan ilmu pengetahuan lebih tinggi nilainya dari pada persembahan materi. Dalam sloka Bhagawad Gita IV. 33 disebutkan sebagai berikut :
Sreyan dravyamayad yajna
Jnanayajnah paramtapa
Sarvan karma khilam partha
Jnane parisamapyate


Terjemahan:

Persembahan korban berupa pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari korban benda yang berupa apapun juga. O Arjuna, sebab segala pekerjaan dengan tak terkecualinya memuncak di dalam kebijaksanaan (Mantra, 2006 : 76)

Dharma wacana, artinya berbicara mengenai ajaran agama atau dharma. Yang dimaksudkan metode Dharma Wacana ini adalah ceramah-ceramah agama yang bertujuan untuk memperluas wawasan dan memperdalam penghayatan nilai spiritual agama Hindu itu sendiri. Dharmawacana ini hendaknya benar-benar murni menjelaskan ajaran agama yang jelas sumbernya. Yang paling utama dan harus jelas adalah sumbernya dari kitab suci Weda. Setelah itu barulah dapat diambil sumber-sumber selanjutnya yang juga merupakan sumber dari penjabaran Weda. Pandangan masyarakat pelaksana Vedayang sudah mentradisi dapat juga disebut Vedaterapan (Acara Dharma) sedangkan sumber yang langsung berasal dari Vedayang masih murni disebut Satya Dharma (Pure Vedic). Pandangan individual sebagai pengamal Veda(Agama hindu) disebut Atmanastuti (Wiana, 2009 : 73)
Materi Dharma Wacana yang dapat disampaikan pada setiap kesempatan yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Dalam hal ini dapat diklasifikasikan kedalam Sruthi, Smerthi, Purana, Itihasa dan Sang Sistha. Penyampaian materi disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan persembahyangan bersama hari purnama dan tilem, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan arisan dan sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka/ayat kitab suci yang relevan dengan thema dan jenis kegiatan itu.
Dharma Wacana sangat baik apabila disampaikan melalui ungkapan bahasa yang mudah dimengerti, dihayati dan diresapkan oleh hadirin. mampu memukau dan dihindari penggunaan istilah-istilah asing, kecuali belum atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa yang dipergunkan dalam Dharma Wacana disamping bahasa Indonesia dapat juga dipakai bahasa daerah setempat.

Dharma Tula
Dharma tula adalah metode pendalaman agama melalui diskusi agama untuk mendapatkan kesamaan persepsi dalam meningkatkan penghayatan pada nilai-nilai yang dianut. Kata Tula berasal dari bahasa Sansekerta artinya perimbangan, keserupaan, dan bertimbang. Secara harpiah dharma tula dapat diartikan dengan bertimbang, berdiskusi atau berembug atau temu wicara tentang ajaran agama Hindu dan Dharma. Secara tradisional dharma tula itu dilaksanakan berkaitan dengan dharma gita. Biasanya untuk memperoleh pemahaman atau pengertian yang lebih jelas dari bagian-bagian Dharma gita yang mengandung ajaran falsafah. Biasanya seluruh peserta aktif berperan serta memberikan ulasan atau membahas apa yang menjadi subyek pembicaraan. Dalam pelaksanaan lebih jauh, dharmatula diharapkan tidak hanya menyertai Dharma gita melainkan pula diadakan secara mandiri melibatkan semua potensi terutama generasi muda, menampilkan topik tertentu untuk kemudian dibahas bersama atau dalam kelompok yang ada.
Dharma tula dimaksudkan sebagai metoda pendalaman ajaran-ajaran agama Hindu melalui peningkatan peran serta yang aktif dari semua peserta. Kegiatan dharma tula sesuai dengan tingkat umur remaja dan dewasa. Oleh karena itu melalui metode ini setiap peserta akan memperoleh kesempatan mengemukankan pendapatnya atau sebaliknya menerima pendapat dari orang lain yang akan menambah pengetahuannya dibidang agama Hindu dengan dilandasi sikap tenggang rasa dan rasa dan kekeluargaan. Cara serupa ini sangat cocok untuk pendidikan orang dewasa yang dikenal dengan sistem "andragogi". Tujuan lebih jauh adalah dharma tula itu diharapkan tumbuh dan berkembang persepsi baru tentang ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi, sehingga agama akan selalu dapat berperan dikehidupan manusia disepanjang jaman.
Materi dharmatula akan sangat baik apabila dapat diambil diketengahkan dari jenis materi yang sesuai dengan tingkat pemahaman serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang akan membahasnya. Misalnya dalam kelompok remaja dapat diketengahkan materi ajaran agama Hindu yang berkaitan dengan kehidupan dan permasalahan remaja (kepemudaan). Dengan demikian metoda dharmatula akan dharapkan mencapai titik kulminasi/sasaran.
Bahasa pengantar yang dipergunakan perlu disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan pengetahuan serta pemahaman penanya. Sedangkan dalam pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan kegiatan menyambut/merayakan hari-hari raya keagamaan, seperti Saraswati, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi dan sebagainya. Untuk tidak terlalu banyak menyita waktu dapat dilaksanakan setelah selesainya persembahyangan bersama atau pada hari-hari libur yang khusus dimanfaatkan untuk itu.
Tujuan utama dari dharmatula adalah untuk mendapat pertimbangan dan pandangan yang sedalam dalamnya dan seluas-luasnya melalui mendengarkan pandangan-pandangan peserta dharmatula. Dharmatula tiddaklah mengutamakan ketahanaan adu argumentasi dan adu kepintaran berbicara. Bukan pembicara-pembicara yang pintar yang dicari, tetapi yang dijadikan sasaran adalah orang-orang yang siap sebagai pelalsana-pelaksana dari apa yang dibicarakan. Pedoman bebicara di dalam dharmatula ada tiga yaitu:
a. Sastra Wada
Sastra maksudnya adalah hukum-hukum atau ajaran-ajaran agama yang bersumber dari kitab suci yang telah tertulis. Wada artinya berbicara. Sastra wada artinya berbicara dalam dharma tula hendaknya berpegang teguh pada kitab-kitab suci yang tertulis seperti Catur Weda, Dharmasastra, Bhagawad Gita, Sarasamuscaya dan kitab lainnya.
b. Budhi Wada
Yang dimaksud Budhi wada adalah peserta dharma tula harus bebicara berdasarkan kesadaran budhi yang tinggi. Tidak boleh didominasi oleh emosi atau rasio saja. Berbicara dengan perasan yang halus, rasionalitas yang tinggi dengan keyakinan budhi yang mendalam. Dengan kata lain pembicaraan harus didorong oleh daya nalar yang tinggi. Kata-kata yang kasar, yang menghardik, yang menyindir, menyinggung perasaan, merusak nama baik seseorang, berbohong, semuanya itu tidak dibenarkan dalam dharma tula.

c. Prema wada
Prema wada artinya setiap peserta yang ikut berbicara dalam dharmatula itu tidaka ada yang saling membenci. Dharma tula harus diselenggarakan dengan kasih sayang (prema). Kasih inilah merupakan dasar berbicara bagi setiap peserta dharma tula. Dharma tula dapat dilakukan melalui pembahasan umum dari ajaran agama Hindu yang ingin dialami. Suasana kasih sayang itulah yang dipakai dasar untuk mengadakan dharma tula tersebut (Wiana. 2009 : 74)

Dharma yatra
Dharma Yatra mempunyai pengertian yang hampir sama dengan Tirta Yatra yakni usaha untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Agama Hindu melalui kunjungan untuk persembahyangan ketempat-tempat suci, patirtan baik yang bertempat di pegunungan atau di tepi pantai.
Dharma yatra atau tirta yatra sebagai perjalanan suci menurut kitab Sarasamuccaya dikatakan lebih utama daripada beryajna. Keutamaan tirta yatra itu dapat dilakukan oleh umat yang paling miskin sekalipun. Sarasamuccaya samapai menyebutkan demikian karena modal dharma yatra hanyalah niat yang suci dan tulus ikhlas.
Untuk meningkatkan kesucian pribadi serta keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa/Hyang Widhi Wasa, melihat/ memperluas cakrawala memandang keagungan-Nya, mengagumi alam semesta dan ciptaannya sehingga semakin teguh untuk mengamalkan ajaran dharma. Dharma Yatra sangat baik dilakukan pada hari-hari raya keagamaan atau upacara-upacara persembahyangan pada pura atau tempat suci. Dapat juga dilaksanakan pada hari-hari libur sekolah sambil melaksanakan persembahyangan dan praktik yoga semadi.

Dharma Santhi
Dharma Shanti adalah suatu ajaran untuk mewujudkan perdamaian diantara sesama umat manusia. Acara dharma shanti ini dapat dilaksanakan sesuai dengan keperluan situasi dan relevansinya dengan kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.
Kegiatan dharma shanti untuk saling maaf memaafkan dengan hati dan pikiran yang suci serta ucapan yang tulus iklas. masing-masing pihak secara sadar dan dengan segala keterbukaan serta kejernihan hati menghapuskan kekilafan dan kealpaan diantara sesama kita.
Dharma Shanti sebaiknya dilaksanakan dalam menyambut tahun baru Saka (hari Raya Nyepi) pada bulan chaitra setiap setahun sekali, yang dilaksanakan baik di dalam tingkat kelompok kecil (suka duka) maupun tingkat desa atau yang lebih besar lagi dengan melibatkan berbagai unsur dilingkungannya. Secara perorangan hal ini dapat dilakukan pada setiap kesempatan dan dimanapun berada.

Dharma Gita
Dharma gita bila ditinjau dari segi etimologinya berasal dari kata Dharma dan Gita. Dharma berarti kebenaran dan Gita berarti nyanyian. Dharma gita artinya nyanyian keagamaan atau kenyanyian kebenaran. Disebut nyanyian kebenaran karena Dharma gita mengajarkan ajaran Weda.Dharma gita secara tradisional telah dilaksanakan di seluruh Indonesia. Kegiatan ini di Bali disebut makidung, makakawin, magaguritan, atau mamutru. Bila lagu keagamaan ini dirangkaikan dalam mengiringi suatu upacara seperti Dewa Yadnya, Dharma gita ini dapat disebutkan sebagai Dharma gita Anjali atau Gitanjali. Disamping itu lagu-lagu keagamaan ini dikaitkan pula dengan kesenian tradisionil seperti halnya: Arja atau topeng di Bali. Dalam usaha untuk mempelajari kitab-kitab suci seperti Weda, pembacaan-pembacaan Vedadapat dinyanyikan. Dharma gita sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan beragama sangat efektif. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin demikian rupa dalam bentuk lagu/irama yang indah dan menawan, mempesona pembaca dan pendengarnya. Usaha untuk melestarikan, mengembangkan Dharma gita bertujuan untuk tetap menjaga dan memelihara warisan budaya tradisional yang diabadikan kepada keagamaan. Disamping itu melalui Dharma gita diharapkan akan mampu memberikan sentuhan rasa kesucian kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan.
Sumber materi untuk dharma gita diambil dari kitab-kitab suci Agama Hindu maupun sastra-sastra keagamaan lainnya yang dirangkaikan dalam bentuk geguritan, kidung, kakawin, dan mamutru. Untuk pengembangan lebih jauh perlu ditampilkan karya-karya baru yang bertemakan ajaran agama Hindu. Pengembangan materi dalam kreasi baru ini perlu dilaksanakan dalam rangka memperkaya dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Materi Dharma gita diambil langsung dari kitab suci serta sastra-sastra keagamaan umumnya mempergunakan bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno. Untuk mencapai sasaran perlu diberikan terjemahan yang mempergunakan bahasa yang mudah, seperti bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat. Demikian pula kreasi-kreasi dharma gita yang baru tetap membawakan pesan dan tema keagamaan, pemakaian bahasa daerah tidaklah merupakan hambatan bahkan justru sangat diharapkan untuk menumbuhkan rasa ikut meiliki dan ikut bertanggung jawab.

Dharma sadhana
Dharma Sadhana artinya realisasi ajaran dharma dalam diri seseorang. Ini dapat dilaksanakan melalui catur yoga marga yakni: Bhakti, Karma, Jnana dan Raja atau Yoga Marga secara terpadu, bulat dan utuh, namun pemakaiannya sesuai dengan jalannya Catur Asrama.
a. Bhakti Marga atau upasana kanda adalah jalan bhakti yang pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk upasana (pemujaan) dan persembahyangan.
b. Karma marga adalah jalan karma yang menitik beratkan pada perbuatan jasa atau amal kebajikan, melakukan sesuatu dengan penuh ketulusaikhlasan atas dasar Dharma.
c. Jnana marga adalah jalan kebijaksanaan pengetahuan. Dalam konteks dharma sadhana dilaksanakan dalam bentuk penimplementasian jnana.
d. Raja marga adalah jalan kebatinan dan kerohanian yang dilakukan dalam bentuk tapa (pengekangan indriya dan tahan derita), brata (ketaatan berpantangan), yoga (menghubungkan diri dengan Tuhan dan menghentikan gerak pikiran), Samadhi (merealisasikan kesadaran atman.
Dharma Sadhana berupa latihan-latihan rohani secara sistimatis dan praktis bertujuan untuk membina mengembangkan dan memupuk kelhuran budi pekerti serta kesucian pribadi sehingga kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara semakin mantap, kokoh dan ajeg, sebagai warga negara yang berpancasila.
Materi Dharma Sadhana pada dasarnya berorientasi pada disiplin hidup pribadi seperti: Tapa, Bratha, Yoga dan Semadhi. Untuk itu perlu disusun suatu pedoman yang sedemikian rupa dan praktis serta dapat dilakukan oleh setiap umat menurut tingkatan umur, fungsi dan profesinya masing-masing.